sekilas-buah-merah-papua.
Tanaman buah merah adalah tanaman yang masih satu famili
dengan tanaman pandan. Pandanus conoideus ini di habitat aslinya (Pulau Papua)
tumbuh dari dataran rendah dekat pantai sampai dataran tinggi. Bahkan, di
lereng pegunungan Jayawijaya diketinggian 2.500 m dpl. tanaman ini bisa
ditemukan. Tanaman berkayu ini tumbuh bercabang sampai mempunyai 5 cabang.
Daunnya berbentuk pita yang pinggirnya berduri-duri kecil. Tinggi tanaman bisa
mencapai 15 meter. Akarnya berbentuk akar udara yang menggantung sampai
ketinggian satu meter dari pangkal batang. Tanaman ini berbuah saat berumur
tiga tahun sejak ditanam.
Buah merah umumnya berbentuk panjang lonjong atau agak
persegi. Panjang buah 30-120 cm. Diameter buah 10-25 cm. Buah ini umumnya
berwarna merah, merah kecokelatan, dan ada pula yang berwarna kuning. Kulit
buah bagian luar menyerupai buah nangka. Di Papua, beberapa daerah yang menjadi
sentra buah merah adalah daerah-daerah yang berada di sepanjang lereng
pegunungan Jayawijaya. Di antaranya Kelila, Bokondini, Karubaga, Kobakma,
Kenyam, dan Pasema.
Menurut kepercayaan penduduk Suku Dhani di Memberamo,
Papua, ribuan tahun yang lalu, nenek moyang mereka turun dari Gunung Pugima ke
daerah Wesakpog untuk berkumpul. Gunung Pugima, menurut mereka adalah gunung
Jayawijaya yang merupakan gunung tertinggi di Indonesia dan Wesakpog adalah
sebuah daerah di Lembah Baliem. Setelah berkumpul di Wesakpog, nenek moyang
orang Papua ini kemudian melanjutkan perjalanan tanpa membawa bekal dan
peralatan sama sekali. Mereka kemudian menyebar ke seluruh penjuru mata angin.
Dalam perjalanan, sebagian dari mereka ada yang berhenti
untuk beristirahat dan membuat api. Menurut cerita masyarakat Suku Dhani, di
tempat mereka beristirahat tersebut, Sang Pencipta menurunkan peralatan berupa
busur dan anak panah, kapak batu, batu api, bermacam-macam tumbuhan, serta
binatang piaraan. Tumbuhan yang dimaksud di antaranya ubi dan buah merah.
Sementara itu, binatang piaraannya diduga babi. Setelah mematikkan batu api, mereka
membakar ubi dan buah merah. Sisa buah merah tersebut kemudian diberikan kepada
binatang piaraannya. Di tempat beristirahat dan membuat api itulah mereka
kemudian membuat perkampungan dan berkembang menjadi berbagai macam suku
seperti sekarang ini.
Sementara itu, sebagian nenek moyang orang Papua terus
berjalan melanjutkan perjalanan darat dan sebagian lagi menyeberangi lautan
menggunakan rakit. Diduga kuat, mereka yang menyeberangi lautan ini sampai di
Benua Australia dan menjadi cikal-bakal Suku Aborigin.
Hingga sekarang, buah merah tetap menjadi makanan
sebagian penduduk Pulau Papua, terutama yang bermukim di daerah Pegunungan
Jayawijaya. Oleh penduduk, buah merah ini dijadikan campuran makanan
sehari-hari. Mereka memeras buah merah setelah membakarnya dengan batu. Sari
buah merah hasil perasan ini mereka konsumsi bersama ubi, sayuran, dan bahan
makanan lain. Sementara itu, ampas atau pastanya diberikan kepada babi hutan
piaraan mereka.
Dalam upacara bakar batu, buah merah pun menjadi elemen pokok. Upacara bakar batu biasanya dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat, terutama dalam satu suku, ketika ada suatu acara, seperti pernikahan, hari natal, idul fitri, tahun baru, perayaan panen, menyembah leluhur, kematian, atau untuk mempererat hubungan ikatan keluarga. Hidangan hasil upacara bakar batu tidak lengkap dan kurang nikmat jika tidak menggunakan buah yang masih satu famili dengan tanaman pandan ini.
Dalam upacara bakar batu, buah merah pun menjadi elemen pokok. Upacara bakar batu biasanya dilakukan untuk mengumpulkan masyarakat, terutama dalam satu suku, ketika ada suatu acara, seperti pernikahan, hari natal, idul fitri, tahun baru, perayaan panen, menyembah leluhur, kematian, atau untuk mempererat hubungan ikatan keluarga. Hidangan hasil upacara bakar batu tidak lengkap dan kurang nikmat jika tidak menggunakan buah yang masih satu famili dengan tanaman pandan ini.
Saat panen raya buah merah, masyarakat Papua biasanya
memasak buah merah seperti halnya masyarakat di Pulau Jawa membuat minyak
kelapa. Minyak buah merah tersebut kemudian disimpan di dalam bumbung bambu dan
bisa bertahan selama satu tahun. Cadangan minyak tersebut digunakan untuk
memasak makanan, seperti halnya minyak goreng. Minyak buah merah ini digunakan
untuk pengganti minyak goreng yang harganya di daerah pedalaman relatif mahal.
Sampai sekarang buah merah tetap digunakan oleh
masyarakat Papua. Sebagian besar penduduk yang mengonsumsi buah merah, baik
berupa pasta dalam makanan sehari-hari maupun minyaknya, jarang terkena
penyakit, tubuhnya kuat, dan staminanya prima. Kenyataan ini banyak mengundang
pertanyaan masyarakat pendatang, sehingga tidak sedikit dari mereka yang mulai
mencoba memanfaatkan buah merah, terutama minyaknya.
Sejak I Made Budi, salah seorang dosen di Universitas
Cenderawasih Jayapura, meneliti kandungan buah ini, masyarakat pendatang
ramai-ramai mengeksploitasi buah ini dari pedalaman. Hingga saat ini hampir
semua elemen masyarakat, dari yang masih berkoteka, aparat pemerintah, hingga
kalangan swasta ramai-ramai terjun mengolah buah merah. Karenanya, tidak
mengherankan jika buah merah kemudian mendapat julukan emas merah dari
belantara Papua. Minyak buah merah hasil olahan mereka kemudian dijual sebagai
obat yang banyak membantu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, seperti
HIV/AIDS, kanker/ tumor, ambeien, diabetes mellitus, asam urat, rematik,
jantung koroner, paru-paru, asma, gangguan jantung dan ginjal, tekanan darah
tinggi, eksim, dan herpes.
Sampai saat ini penelitian tentang khasiat dan manfaat
buah merah untuk pengobatan masih belum selesai. Secara klinis pembuktiannya
belum dilakukan. Meskipun demikian, secara empiris tidak sedikit penderita
penyakit yang sudah merasakan manfaat buah ini. Beberapa di antaranya ada yang
mengonsumsi buah ini dengan mengombinasikan bersama obat dokter, ada yang
mencampurnya dengan herbal lain, dan ada pula yang mengonsumsinya secara
tunggal.
Fenomena ini kemudian mengundang pro dan kontra dari
berbagai kalangan masyarakat. Ada yang langsung percaya dan menggunakannya
untuk pengobatan, ada yang melakukan penelitian, dan ada pula yang masih
ragu-ragu akan kemampuan komoditas perkebunan ini. Bagaimana pun kontroversi
yang berkembang, di lapangan tidak sedikit penderita aneka penyakit yang sembuh
dengan buah merah dan akhirnya berani memberikan kesaksian akan kemampuan Pandanus
conoideus ini kepada masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar